Literatur, Di Antara Anak Muda Yang Kritis

Literatur, Di Antara Anak Muda Yang Kritis – Apa yang dimaksud dengan literatur (literature)? Secara umum, pengertian literatur ialah segala karya tertulis yang dapat dijadikan rujukan atau acuan dalam berbagai kegiatan di bidang pendidikan dan bidang lainnnya karena dianggap memiliki keunggulan atau manfaat yang abadi.

Pendapat lain mengatakan bahwa arti literatur ialah segala sumber informasi yang bisa dijadikan referensi oleh penggunanya. Dengan kata lain, literatur tak harus berupa tulisan, akan tetapi bisa juga dalam bentuk film, rekaman, piringan hitam, laserdisc, dan benda lainnya yang dapat memberikan informasi bermanfaat. http://www.shortqtsyndrome.org/

Kelompok muda-mudi yang dianggap kritis bermunculan seiring dengan gelombang penerbitan buku-buku berhaluan progresif. Penerbit independen sehingga perpustakaan ruang terbuka digagas untuk memicu literasi alternatif. https://www.benchwarmerscoffee.com/

Akan tetapi di tengah produksi buku nasional yang dinilai krisis, pemerintah bertekad untuk memusnahkan bacaan yang tidak sesuai dengan ideologi negara. Buku-buku itu disebut berpotensi dapat melahirkan kaum radikal dan komunis.

Handoko tenggelam dalam beragam judul buku pada saat menghadapi segala kerumitan hidup sebagai perantau di Jakarta pada tahun 2013. Usai lulus sekolah kejuruan di Yogyakarta, ia memutuskan untuk kuliah sembari menjadi buruh pabrik di pinggiran ibu kota.

Kewajiban membayar aneka biaya, dari iuran kampus sampai dengan ongkos hidup, bahkan ancaman pemecatan, mempertemukannya dengan solidaritas antar buruh.

Di serikat pekerja, Handoko merasa mendapat pertolongan yang pada awalnya ia anggap semestinya diberikan pemerintah.

Literatur, Antara Anak Muda Yang Kritis

“Saya berkumpul dengan beberapa kawan senasib, saling berkisah tentang pengalaman di PHK dan memperjuangkan pesangon.”

“Dari keluh kesah itu saya mempertanyakan keberadaan negara. Saya mulai mengenal pentingnya berserikat dan membaca,” ujarnya.

Pada saat ini Handoko bekerja sebagai pegawai di salah satu kementerian di Jakarta. Ia meminta nama aslinya tidak disebut karena khawatir komentar tentang perihal berstigma bakal mempersulit kariernya.

Lingkar pertemanan antar buruh, kata Handoko, tidak jauh dari buku-buku yang disebutnya progresif atau alternatif. Konten buku itu memuat tentang gagasan yang awam diberangus Orde Baru, dari sosialisme, komunisme, dan anarkisme.

Bacaan tersebut pula yang disebut Handoko bisa mempengaruhi pemikiran, pola tindaknya, dan juga pilihan-pilihan dalam kehidupan kesehariannya.

“Dengan membaca literatur dan juga realitas kehidupan, pemikiran saya yang lebih objektif, saya menjadi tak mudah dihasut.”

“Saya juga jadi tidak mempercayai manfaat negara. Yang berpengaruh justru solidaritas antarkawan. Rakyat membantu rakyat,” ujarnya.

Akan tetapi Handoko toh tidak serta merta mengklaim dirinya sebagai penyokong komunisme atau paham lain yang bahkan tidak boleh dipelajari oleh warga Indonesia. Dari membaca pula, Handoko dapat menilai setiap ideologi mempunyai kecacatan tersendiri.

“Buku Gombalnya Globalisasi yang adalah karya dari El Figson membuka pikiran saya bahwa negara yang berhaluan kiri yang memberi harapan keseteraan ternyata tidak benar-benar ada,” ucapnya.

Atas dasar ketertiban dan juga ketenteraman, Kejaksaan Agung berencana membentuk satuan tugas khusus pengawasan buku. Wacana tersebut didasarkan pada Pasal 69 UU 3/2017 mengenai sistem perbukuan yang memberi mereka kewenangan untuk melakukan itu.

Pembentukan satgas ini direncanakan sesudah razia buku oleh personel gabungan terdiri dari jaksa, polisi, dan juga tentara di berbagai daerah dalam beberapa tahun terakhir.

Akan tetapi juru bicara Kejagung yang bernama Mukri, mengklaim bahwa pengawasan buku oleh satgas ini bakal bergulir dalam sistem penilaian yang berimbang.

“Tidak hanya buku kiri, tapi juga radikalisme, misalnya aliran yang dilarang undang-undang,” ujar Mukri saat dihubungi beberapa waktu lalu.

“Ini pengamanan, bukan penyitaan, sebab konsep tersebut berdasarkan putusan dari MK harus melalui proses pengadilan.”

“Kami mengamankan lalu meneliti substansi buku. Kami menyerahkan ke ahli, kalau ternyata menyangkut komunisme atau anti-Pancasila, akan kami musnahkan. Akan tetapi kalau ada yang mencakup unsur pidana, kami akan serahkan ke Polri,” kata Mukri.

Sebelum satgas kejaksaan efektif bekerja, razia buku alternatif memaksa gerakan literasi akar rumput untuk berpikir dua kali untuk membahas atau untuk memajang bacaan nonarus utama.

Berbagai razia tersebut dinilai intimidatif dan juga dilakukan tanpa penilaian bahkan proses pengadilan.

Rio yang adalah pegiat perpustakaan jalanan di Kebayoran, Jakarta, saat ini bersiasat agar gerakan literasinya terus berlangsung tanpa meninggalkan semangat kritis.

“Kami belajar dari kawan-kawan yang bukunya dirazia. Kami ada buku yang isinya alternatif, sekarang itu kami simpan dulu,” ujar Rio.

“Kami menampilkan buku yang umum, supaya publik akan terbiasa berliterasi. Kalau mereka ingin membaca buku tersebut, kami bersedia meminjamkan.”

“Intinya jangan sampai buku-buku tersebut bisa membuat umur perpustakaan kami tak panjang,” ucapnya.

Setiap sore akhir pekan, Rio dan juga beberapa kawannya memajang puluhan buku di atas halaman taman publik Jakarta Selatan. Mereka menamakan lapak itu Bear Garden supaya seluruh kalangan tak sungkan mampir dan membaca.

Inisiatif membuka perpustakaan jalanan ini muncul di berbagai kota. Seluruhnya swadaya, nonprofit, dan juga digerakkan muda-mudi.

“Fokus kami ke buku anak-anak, puisi, novel, dan juga cerpen. Ada juga buku progresif, tetapi kami pilah sebab negara kita masih fobia simbol, sensitif pada buku kemerah-merahan,” ujar Rio.

Akan tetapi perlukah kita membaca dalam pengawasan dan kekhawatiran tentang stigma dan razia?

Menurut pengelola penerbit Marjin Kiri yang bernama Pradewi Tri Chatami, seluruh aktivitas terkait buku semestinya berlangsung ekspresif tanpa kekangan, termasuk di dalam proses penerbitannya.

Pradewi Tri Chatami berkata bahwa stereotip dan pembatasan bacaan di Indonesia terus ada meski produksi buku yang rendah dan tidak sebanding dengan jumlah penduduk.

Literatur, Antara Anak Muda Yang Kritis 1

Marjin Kiri adalah penerbit buku alternatif yang berbasis di Jakarta. Buku-buku mereka antara lain adalah Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan, Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Freiderich Engles, sehingga Kekerasan dan Identitas.

“Kondisi perbukuan yang ada di Indonesia masih jauh dari kata bagus, ada razia padahal produksi buku tak seberapa,” tuturnya.

Merujuk sensus Perpustakaan Nasional Republik Indonesia setiap tahun produksi buku di Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 265 juta jiwa, rata-rata tak lebih dari 60.000 judul. Sementara dalam data Ikatan Penerbit Indonesia, angkanya berkisar antara 40.000 sampai dengan 45.000.

Bandingkan dengan Inggris, dengan penduduk 66 juta jiwa, pada tahun 2013 menerbitkan 184.000 buku atau Islandia yang sempat mengalami ‘ledakan buku’ di mana perbandingan buku baru dan jumlah warga mencapai 1:10.

Di tengah jumlah buku yang minim, Pradewi menyebutkan bahwa lembaganya berniat untuk menghadirkan alternatif bacaan bagi publik, terutama kalangan akademisi, mahasiswa, dan juga pelajar. Sayangnya, upaya tersebut berhadapan dengan pengawasan ketat pemerintah yang disebutnya tidak seharusnya ada.

“Sumber bacaan sangat luas. Orang seharusnya dibebaskan untuk memilih bacaan mereka, mau yang populer atau kiri. Biarkan anak muda untuk menentukan apa yang paling pas untuk mereka.”

“Saya tak mengerti mengapa aparat selalu mencurigai buku kiri, padahal terdapat buku Mein Kampf yang justru mendorong fasisme, ada buku Islam garis keras yang mengajak jihad dengan cara kekerasan.”

“Penyebaran buku mereka lebih masif dibandingkan kami. Tetapi itu tak pernah menjadi perhatian aparat. Apakah mereka dilindungi, saya tidak tahu?” tanya Pradewi.